Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 27 November 2013

Menilai Kerusakan Relasi RI-Australia (Vedi R Hadiz)

Oleh: Vedi R Hadiz

SUDAH menjadi accepted wisdom bahwa Indonesia dan Australia adalah dua negara yang saling membutuhkan. Keduanya terikat geografi dan geopolitik, selain hubungan ekonomi dan sosial-budaya.

Namun, hubungan saling membutuhkan ini telah diguncang skandal penyadapan yang secara tak masuk akal dibiarkan berlarut-larut, terutama oleh Pemerintah Australia baru di bawah Perdana Menteri Tony Abbott. Pertanyaannya sekarang: sejauh mana hubungan Indonesia-Australia sudah dirusak skandal itu? Di tengah suhu politik yang kian meningkat, perlu disadari bahwa hubungan kedua negara tetangga itu tidak mungkin anjlok sepenuhnya. Toh berbagai krisis pernah dilalui sebelumnya.

Kepentingan kuat
Di Indonesia ataupun di Australia tertanam sejumlah kepentingan kuat yang membutuhkan kelestarian hubungan tersebut. Sebagai misal, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa program kontroversial pemerintahan Koalisi Australia untuk membendung arus pemohon suaka yang berdatangan lewat perahu amat mengandalkan kerja sama dengan Pemerintah Indonesia.

Keberhasilan program ini menjadi penting karena dalam pemilu sebelumnya rakyat Australia telah digiring menuju sikap yang mendekati histeria dalam menghadapi kedatangan para pemohon suaka.

Selain itu, rekan koalisi Partai Liberal-nya Tony Abbott, yakni Partai Nasional yang berbasis rural, juga berkepentingan agar hubungan dengan Indonesia tidak sedemikian rusak sehingga memusnahkan bisnis ekspor ternak yang menjadi andalan sebagian konstituennya. Perusahaan-perusahaan pertambangan Australia yang sudah keburu nyemplung di Indonesia bisa menjadi gusar, padahal kebijaksanaan ekonomi Partai Liberal cenderung didukung mereka.

Dari pihak Indonesia, berbagai kepentingan yang juga tertanam kuat dalam hubungan bilateral ini bisa disebutkan. Hal itu antara lain kepentingan menjamin arus devisa yang dibawa wisatawan Australia, hingga yang berkaitan dengan kerja sama di bidang pendidikan sampai dengan kolaborasi di bidang pertahanan dan kepolisian (misalnya dalam menangani terorisme) dan masih banyak lagi. Meskipun demikian, pertikaian yang dibiarkan berkepanjangan bukanlah masalah sepele karena dapat memengaruhi kegiatan yang selama ini sudah menjadi urusan rutin. Misalnya, pers Australia sempat mempertanyakan apakah para wisatawan muda di Bali akan terancam keamanannya setelah adanya pernyataan keras beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia.

Mungkin saja para orangtua Indonesia juga akan merasa risi mengirim anak-anaknya mengenyam pendidikan di Australia. Apalagi kalau mereka mendengar sejumlah pernyataan sembrono yang muncul dalam talk back radio Australia yang memang cenderung xenophobic dan berhaluan Kanan.

Namun, banyak komentator Australia sudah mengingatkan bahwa Abbott perlu mengambil langkah seperti Obama yang meminta maaf kepada rekanan Amerika Serikat di Eropa, juga karena skandal penyadapan, serta memerintahkan peninjauan ulang praktik aparat intelejennya.

Mereka agaknya menyadari bahwa pemerintahan SBY memerlukan tanggapan dari pihak Australia yang mengisyaratkan adanya semacam perasaan bersalah. Tanpa isyarat itu, pemerintahan SBY bisa menjadi bulan-bulanan berbagai pihak di dalam negeri yang berusaha memanfaatkan situasi untuk memobilisasi sentimen nasionalis (mungkin sebagai persiapan untuk menghadapi Pemilu 2014 atau untuk mengejar berbagai tujuan sempit).

Namun, apa yang telah menghambat Abbott untuk mengambil langkah mirip Obama? Alasan formalistis yang dia berikan di parlemen Australia—bahwa masalah intelijen tidak pernah dibicarakan di depan umum—sepertinya sungguh tidak memadai untuk menjelaskan sikapnya yang sempat seperti batu.

Mungkin sebagai politisi yang baru naik menjadi perdana menteri, dia merasa perlu menunjukkan diri sebagai pemimpin yang kuat. Kalau demikian, alangkah keliru perhitungannya sebab yang dibutuhkan sekarang adalah sikap seorang negarawan, bukan politisi yang mencari popularitas murahan. Bisa saja ia juga bereaksi terhadap kegagalan baru-baru ini untuk "memaksa" aparat Indonesia menerima "muatan" perahu yang membawa sejumlah calon pemohon suaka di Australia. Merasa "kalah", ia sekarang mengambil sikap yang dikiranya menunjukkan ketegasan.

Masalah fundamental
Namun, tampaknya ada satu masalah lain yang lebih fundamental. Seperti mantan Perdana Menteri John Howard, Abbott berasal dari tradisi politik Australia yang—lepas dari retorikanya—secara instingtif merasa "asing" di tengah-tengah Asia.

Kita mengetahui bahwa pemerintah Koalisi Australia praktis telah mencampakkan White Paper pemerintah sebelumnya yang menggariskan hubungan yang dekat dengan sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, walau sesungguhnya dokumen tersebut amat miskin dalam detail pelaksanaan. Pernyataan Abbott bahwa spionase Australia dilakukan bukan hanya demi kepentingan sendiri, melainkan juga negara sahabat yang dimata- matai terdengar begitu paternalistik dan "kuno" tetapi mencerminkan keterasingan itu.

Dalam jangka panjang, kelihatannya Abbott perlu lebih memanfaatkan keahlian mengenai Asia dan Indonesia yang sudah lama terdapat di Australia, baik di kalangan pemerintahan, universitas, swasta, maupun lembaga swadaya masyarakat. Saat ini, jelas ia sering tidak menerima masukan yang tepat. Ia pun perlu menjauhkan diri dari penasihat Partai Liberal macam Mark Textor, yang tiba-tiba menjadi terkenal, tetapi ternyata lebih ahli di bidang pornografi daripada diplomasi.

Vedi R Hadiz, Guru Besar Masyarakat dan Politik Asia, Asia Research Centre, Murdoch University

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003373429
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger